Oleh : Asih Pujiariani
Rana khawatir, kalau perubahan sikap Syifa ada hubungannya dengan dirinya. “ Mungkinkah ada sikap atau perkataanku yang telah membuat Syifa tersinggung yaa? ” Pikir Rana dalam hati. Rana terlalu takut untuk menanyakan hal tersebut pada sahabat yang sangat disayanginya itu, karena takut Syifa bertambah marah. Tapi Rana sungguh rindu pada Syifa yang dulu.
Hingga bel istirahat berbunyi, mereka berdua masih dalam kebisuan. Sungguh tak enak rasanya. Rana memberanikan diri, masalah ini harus segera diselesaikan.
“ Syif, hari ini bawa bekal apa?” Ucap Rana mengawali percakapan.
“ Aku tidak bawa bekal”. Jawab Syifa pendek. Wajahnya terlihat semakin murung.
“ Memangnya kenapa? Tanya Rana penasaran.
“ Ibu tidak sempat menyiapkan. Ibu selalu saja sibuk mengurus Naira adikku. Sepertinya ibu tidak sayang lagi padaku”. Mata Syifa terlihat berkaca-kaca, menahan tangis.
“ Kok kamu berpikir begitu? Bukannya dulu kamu ingin sekali punya adik? ”
“ Iya sih, tapi aku sebel, Ibuku sepanjang hari hanya mengurus Naira. Tidak pernah lagi memperhatikan aku. Apalagi kalau Naira sedang rewel, aku semakin diabaikan saja.”
Rana tersenyum mendengar jawaban Syifa. “ Ooo jadi itu sebabnya kamu selalu terlihat murung akhir-akhir ini?”
“ memang aku terlihat murung?”
“ Nggak sih, Cuma wajahmu itu terlihat seperti cucian kusut”. Jawab Rana jahil.
“Kamu ini Ran, sembarangan saja”. Kata Syifa kesal sambil mencubit pinggang Rana.
“ Aduh! Sakit tauu! “ Pekik Rana .
“ Habis kamu ini, masa wajahku kau samakan dengan cucian kotor”. Senyum tipis tersirat di wajah Syifa.
“ Nah gitu dong,... senyum. Jangan cemberut terus. Aku sempat takut kalau kamu cemberut terus karena marah sama aku lho.” Kata Rana sambil mencubit kedua pipi Syifa.
“ Ya enggak lah, Emang kenapa aku mesti marah”.
“ Coba kamu mau cerita sama aku. Pasti dari kemarin-kemarin wajahmu nggak kusut kayak gitu”.
“ Memangnya kamu punya obat anti cemberut Ran?”
“ Yaa nggak. Mana ada obat cemberut. Tapi aku kan lebih berpengalaman dari pada kamu.”
“ Ah lagakmu, pengalaman apa? Sok tahu kamu.” Sahut Syifa sambil menonjok lengan Rana pelan. Senyum tersungging diwajahnya.
“ Kamu lupa yaa? Aku kan lebih dahulu punya adik, jadi aku juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan.” Jawab Syifa.
“ Oh iya yaa. Tapi sepertinya kamu baik-baik saja. Ibumu pasti tidak bersikap seperti ibuku.” Wajah Syifa kembali terlihat muram.
“ Begini yaa temanku yang baik, Aku dulu juga merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Kamu saja yang tidak tahu.”
“ Memang iya?”
“ Yee, nggak percaya....”
“ Ya bukannya tidak percaya, tapi sepertinya kalau aku lihat kamu sayang sekali sama adikmu.”
“ Memang aku sayang banget sama Rere. Tapi aku dulu juga sempat sebel karena mama lebih banyak mengurus Rere dari pada aku, apalagi waktu baru lahir seperti adik kamu sekarang.”
“ Terus....”
“Waktu itu tanteku menjelaskan padaku, kalau mama lebih banyak mengurus Rere karena Rere masih bayi. Kan Bayi nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak bisa maem sendiri, nggak bisa pakai baju sendiri, bahkan ngomong aja belum bisa kan?”
“ Iya sih. Bener juga. Terus...”
“ Jadi, kalau ibu kamu lebih banyak mengurus Naira itu bukan karena lebih sayang sama Naira, tapi karena Naira lebih banyak membutuhkan ibu kamu untuk mengurusnya. Waktu kamu bayi dulu, pasti ibumu juga mengurusmu sama seperti Naira. “
“ Terus....”
“ Nanti kalau adikmu sudah gede, seneng tau. Kamu bisa main bareng sama adikmu. Kayak Rere itu,... Setiap aku pulang sekolah pasti Rere sudah nungguin di depan pintu. Kalau aku udah nyampe pagar, pasti Rere loncat-loncat sambil teriak, Hole mbak pulang...hole mbak pulang. Lucu banget, bicaranya kan masih cadel. Ngegemesin deh.”
“ Terus....”
“ Terus terang Philips terang teruuuus.”
“ Ah kamu, orang lagi serius juga.” Satu cubitan lagi mengenai pinggang Rana.
“ Aduh”. Pekik Rana. Untugnya kelas telah sepi. Semua anak tengah menghabiskan waktu istirahat di kantin, halaman, atau perpustakaan, kalau tidak, teman-teman sekelas mereka pasti menengok heran kearah mereka berdua.
“ Habisnya kamu dari tadi terus, terus, melulu.”
“ Heheh. Iya ya, Makasih ya Ran. Kamu memang sahabatku yang paling baik.”
“ Ya itu kan gunanya sahabat. Udah ah, ke kantin aja yuk. Udah lapar nih. Ntar keburu habis waktu istirahatnya.”
“ Oke.”
Keduanya lalu berjalan beriringan menuju kantin sekolah.
1 Komentar untuk " Senyum Syifa "
slam kenal. mampirlah kegubuk saye