Mulai abad ke-17, VOC telah melakukan hubungan dagang dengan rakyat Banjarmasin, antara lain jual beli rotan, intan, emas dan lada. Bahkan, pada saat Sultan Rahmatullah berkuasa, VOC diberi izin mendirikan kantor dagang. Namun, ketika VOC menerapkan sistem monopoli, rakyat Banjarmasin melakukan reaksi penolakan. Akhirnya, VOC menyingkir dari Banjarmasin.
Pada tahun 1816, Belanda menerima kembali kekuasannya dari Inggris. Dengan segera Belanda mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara termasuk dengan Kesultanan Banjar. Pada saat itu, Kesultanan Banjar dipegang oleh Sultan Adam (1825- 1857).
Ketika Sultan Adam meninggal dunia, Belanda mengangkat cucunya, yaitu Pangeran Tamjidillah, menjadi Sultan. Putra Sultan Adam, yaitu Pangeran Abdulrachman, ayah Tamjidillah, meninggal terlebih dahulu pada 1852.Pengangkatan ini rupanya menimbulkan masalah, karena kesenangannya pada minuman keras dan bermabuk-mabukan. Kalangan umum lebih menyukai putra Abdulrachman yang lain, yaitu Pangeran Hidayatullah. Selain putra dari Ibu bangsawan, ia juga berperangai baik. Tetapi Tamjidillah sudah didukung dan ditetapkan Belanda. Keruwetan politik dalam negeri Kesultanan banjar ini akhirnya menimbulkan Perang banjar selama 4 tahun (1859-1863).
Merasa berang dengan tindakan Belanda, pada bulan April 1859, pasukan Pangeran Antasari menyerang pospos Belanda. Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Perlawanan rakyat bergelora dan meluas kemana-mana. Benteng Belanda di Pangaron digempur, kemudian menguasai Muning dan Martapura. Beliau dibantu oleh Surapati, Kiai Demang Leman, Kiai Adipati Mangkunegara, Kiai Sultan Kara, Kiai Langlang, Haji Masrum, Haji Bayusin, Tumanggung Singapati dan Cakrawati. Taktik perangnya adalah siasat gerilya. Tumanggung Surapati berhasil membakar kapal Belanda, yaitu Onrust di Sungai Barito.
Pangeran Hidayatulloh kemudian bergabung melawan Belanda. Mengetahui kejadian itu, Belanda segera menghapuskan Kesultanan Banjar pada tanggal 11 Juni 1860. Sambil terus melakukan penekanan, Belanda juga membujuk Pangeran Hidayat untuk berunding. Akhirnya, Pangeran Hidayat ditangkap dan diasingkan ke Cianjur Jawa Barat.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara , maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus Pangeran Antasari dan pasukannya .
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...”
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.
Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.
Referensi :
-Ilmu pengetahuan sosial 5: untuk SD/MI kelas V/Endang Susilaningsih, Linda S Limbong — Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008
-Ilmu pengetahuan sosial 5: untuk SD/MI kelas V/Siti Syamsiyah ... [et.al.] — Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
-Ilmu Pengetahuan Sosial: SD/MI Kelas V/oleh Reny Yuliati, Ade Munajat.— Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008
-www,wikipwdia.org
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
1 Komentar untuk " Pangeran Antasari "
Luar biasa.............